Yang Ada Pada Perfect Days

Sudut Kamar
3 min readMay 1, 2024

--

Pak Hariyama sedang leyeh-leyeh di depan jendela di samping rak buku miliknya

Apa jadinya jika sebuah film lebih banyak memperlihatkan kegiatan saban hari seorang bapak-bapak yang bekerja sebagai pembersih toilet umum, minim menyediakan dialog, juga tak menampilkan konflik? Perfect Days melakukan itu, dan tetap membuat hati kecil saya yang tak seberapa ini tersentuh. Lewat Perfect Days, saya tahu bahwa sebuah emosi tak harus disalurkan lewat konflik yang menohok maupun sebuah ujaran.

Perfect Days pertama kali tayang pada akhir tahun lalu. Hingga kini, film garapan sutradara Wim Wenders itu sudah malang melintang di festival film internasional, seperti Toronto International Film Festival, New York Film Festival, serta turut mewakili Jepang dalam perebutan Piala Oscar 2023.

Film berdurasi dua jam ini bercerita kegiatan sehari-hari seorang pria paruh baya yang hidup seorang diri bernama Hirayama (Kōji Yakush). Pak Hirayama selalu senang dengan hal-hal kecil yang ia temui, dan ia mensyukuri semua itu.

Misalnya saja ketika sehabis bangun tidur, Pak Hariyama akan menyemproti tanaman yang tumbuh di sebuah pot yang ia letakkan di dalam kamar. Setelahnya, ia tak langsung buru-buru meninggalkan tanaman itu untuk beranjak melakukan aktivitas lain. Pak Hariyama akan lebih dulu memandangi dan melempar senyuman ke tanaman itu seolah ia sedang melihat bayinya yang tumbuh dengan sehat.

Pada pagi hari, ketika pertama kali membuka pintu rumah, Pak Hirayama juga akan menyapa udara segar dengan menghirupnya dalam-dalam. Selalu begitu, seakan-akan ia baru pertama kali berjumpa dengan yang namanya udara pagi hari. Hal lain yang membuat Pak Hariyama menikmati hari-harinya adalah suara kaset klasik yang menemaninya ketika di dalam mobil saat ia berangkat bekerja. Lagunya kesukaanya pun bukan main: dari The Animals sampai Rolling Stone, dari The Kinks sampai Patti Smith.

Walaupun Pak Hariyama hanya bekerja sebagai pembersih toilet umum, ia tetap melakukan pekerjaannya secara tak setengah-setengah: ia selalu datang tepat waktu, menggosok tiap bagian seisi toilet dengan telaten, dan menjawab dengan wajah semringah ketika ia ditanya soal pekerjaannya — ini memperlihatkan bahwa ia sama sekali tak memandang rendah atau berkecil hati dengan profesi tersebut.

Ah, jangan lupakan juga soal keindahan arsitektur toilet tempat biasa Pak Hariyama bekerja. Sambil menyelam minum air, Perfect Days, selain menyoroti sosok Pak Hariyama, memang secara sengaja ingin mempertontonkan keindahan desain arsitektur toilet umum di Negeri Sakura. Harap maklum, itu karena film ini masih berkaitan erat dengan keberadaan Nippon Foundation yang sedang menggarap Tokyo Toilet Project, sebuah proyek arsitektur untuk merenovasi fasilitas toilet umum di kawasan Shibuya.

Karena film tersebut amat minim dialog, tokoh-tokoh yang ada pada Perfect Days pun juga tak seberapa. Tokio Emoto, memerankan Takesi, Aoi Yamada memerankan “incaran” Takesi, serta Arisa Nakano memerankan keponakan Pak Hariyama, Niko. Sisanya adalah para pemain yang hanya muncul sesekali.

Meski Perfect Days nyaris tak menampilkan konflik dan hampir seluruhnya tampak menenangkan, tetap saja film tersebut menyembunyikan teka-teki pada sosok Pak Hirayama. Bisa jadi hal tersebut menyangkut masa lalunya dengan keluarganya. Itu tampak pada gestur dan ekspresi Pak Hariyama ketika adik perempuannya menjemput anaknya, Niko, saat keponakan Pak Hirayama itu berkunjung ke kediamannya.

Film ini seolah menyadarkan penontonnya betapa hidup yang sempurna tak harus dilakukan lewat suatu tindakan yang besar. Bisa melakukan sesuatu yang biasanya kita lakukan saban hari, walau tak seberapa, pun sudah syukur, bukan?

Bagian yang paling saya sukai dalam film ini adalah ketika kamera menyoroti tumpukan buku di rak milik Pak Hariyama. Tampak ada dua rak buku di rumahnya: satu rak yang memanjang tergeletak di dekat jendela, dan satunya lagi rak tinggi bertingkat yang diletakkan tak jauh dari yang pertama.

Tentu saja tumpukan buku yang ditata rapi tersebut terkumpul karena Pak Hariyama selalu membeli buku pada akhir pekan, selalu menyempatkan membacanya malam hari sebelum tidur, sebelum matanya benar-benar terkatup, dan menutup harinya yang sempurna itu.

--

--

Sudut Kamar

Tempat menulis untuk diri sendiri. Kebanyakan adalah memoar pribadi. Oleh Adinan Rizfauzi.