Unnes, UNNES

Sudut Kamar
3 min readMay 12, 2024

--

Satu suara pemberitahuan membuat layar ponsel yang semula padam berkedip lama. Saya yang saat itu hendak mengembalikan piring makan ke dapur berbalik arah ke sebuah meja tempat ponsel itu tergeletak. Satu pesan pendek masuk, “Unnes ditulis gitu apa gede semua, UNNES?”. Saya tak langsung menjawab dan memilih meletakkan piring kotor ke belakang lebih dulu.

Sekembalinya saya ke meja, satu pesan lagi datang. Kali ini ia mengirimi sebuah tangkapan layar dari Google, “Nama universitas ini adalah ‘Universitas Negeri Semarang’ dan disingkat menjadi UNNES. Tulisan UNNES harus selalu ditulis dengan huruf kapital. Tulisan ‘Unnes’ tidak diperkenankan,” begitu bunyi tulisan pada tangkapan layar tersebut.

Tanpa pikir panjang, saya membalas, “Unnes, dong.”

“Serius, lu?”

“Merujuknya ke EYD,” balas saya.

“Unnes, Undip, Unpad,” satu pesan lagi saya susulkan agar yang disebelah saya tambah yakin.

Lagi pula, saya percaya, kawan saya itu sebelumnya sudah mengerti bahwa penulisan yang benar adalah Unnes. Barangkali keyakinannya goyah setelah melihat hasil pencarian di Google. Sebab, situs Unnes.ac.id memberitahukan bahwa penulisan yang benar adalah UNNES.

Tak hanya itu, kegoyahannya barangkali juga disebabkan oleh media sosial kampus tersebut yang selalu menulis singkatan nama lembaganya sendiri dengan deretan huruf kapital. Kebiasaan itu, mungkin tak hanya terjadi pada salah seorang kawan saya itu, membuat orang beranggapan bahwa penulisan yang benar memang UNNES, dan lupa bahwa pedoman bahasa yang berlaku tak berkata demikian.

Mari kita lihat ke Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) yang menjadi patokan standar penulisan bahasa Indonesia. Pada deteran nomor enam mengenai pengaturan tata cara penulisan akronim, terdapat aturan bahwa, “Nama diri yang berupa gabungan huruf dan suku kata atau gabungan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal kapital”. Di bawah penjelasan tersebut, terdapat beberapa contoh, antara lain Bappenas, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Bulog, Badan Urusan Logistik; dan Kalteng, Kalimantan Tengah.

kalimat “Universitas Negeri Semarang” jelaslah sebuah nama diri karena itu merupakan sebuah nama lembaga, selain juga terdiri dari gabungan suku kata. Maka, semestinya penulisan yang benar untuk kampus yang berpusat di Gunung Pati itu adalah “Unnes”.

Tapi pada kenyataanya, tata cara yang terdapat pada situs resmi Unnes berkata lain. Pedoman itu pertama kali dipublikasikan di Unnes.ac.id pada 2017, ketika kampus dipimpin oleh Rektor Fathur Rokhman, seorang Profesor dari Fakultas Bahasa dan Seni. Di Facebook, postingan itu pun sempat menjadi perbincangan ramai. Walau demikian, sampai hari ini, tak ada alasan khusus mengapa Unnes membuat aturan untuk menyebut lembaganya menjadi “UNNES”, dan tak pula diberitahukan pada saat apa ketentuan itu harus dipatuhi, atau siapa saja yang harus mematuhi.

Sebenarnya, yang demikian ini tak hanya terjadi pada Unnes. Di kampus sebelah misalnya, Universitas Diponegoro (Undip), juga sering melakukan itu, paling tidak jika dilihat sekilas pada media sosialnya. Tapi saya belum tahu apakah kampus tersebut juga mengumumkan secara resmi tata cara penulisannya layaknya di Unnes atau tidak.

Kebiasaan lembaga-lembaga itu bisa jadi karena penulisan akronim dengan menggunakan deretan huruf kapital memberikan kesan bahwa lembaga tersebut memiliki wibawa atau agar terkesan “wah”. Selain itu, bisa jadi lembaga tersebut hanya sekedar mempertimbangan estetika belaka. Entahlah.

Kalau memang begitu maunya, sebenarnya tak terlalu jadi soal. Di media massa, saya mengenal yang seperti ini dengan sebutan kaidah selingkung atau kesepakatan mengenai penggunaan tata bahasa tertentu di suatu lingkup tertentu. Namun, karena kampus tak hanya dihuni sepuluh dua puluh orang, memang sudah seharusnya ada pemberitahuan yang meluas dan rinci, khususnya pada saat apa tata cara yang melenceng itu dapat digunakan, walau memang sebaiknya itu hanya berlaku untuk kepentingan internal, misalnya untuk urusan yang berkaitan dengan administrasi.

Maksudnya, pastilah ketentuan itu tak perlu berlaku bagi Mas Sartono, misal, yang berprofesi sebagai jurnalis, kalau Mas Sartono tidak ingin ditempeleng editornya. Juga tak berlaku bagi kawan saya sebagai mahasiswa yang sedang membuat tulisan artikel populer yang ditujukan untuk umum.

Ketentuan itu bisa dibenarkan kalau kawan saya itu sedang membuat surat resmi dan akan dikirim ke salah satu lembaga pada kampus tersebut atau ketika Mas Sartono membuat surat permohonan wawancara yang ditujukan ke humas kampus.

Yang jelas, adanya pemberitahuan yang rinci bertujuan agar tak ada lagi orang yang bingung seperti kawan saya tadi. Dan yang terpenting, agar tata cara yang berlaku pada satu lingkup itu dapat diimplementasikan secara konsisten.

--

--

Sudut Kamar

Tempat menulis untuk diri sendiri. Kebanyakan adalah memoar pribadi. Oleh Adinan Rizfauzi.