Ternyata KIP-K Itu Program yang Kelewat Kurang Ajar

Sudut Kamar
4 min readMay 5, 2024

--

Kemarin saya mengirim sebuah tulisan opini ke email redaksi lembaga pers mahasiswa di kampus. Pada tulisan itu, saya mengulas soal polemik program KIP-K yang dianggap oleh banyak orang tak tepat sasaran. Belakangan, linimasa X saya memang kerap dipenuhi oleh pembicaraan itu. Kebetulan, saya juga merupakan penerima beasiswa tersebut, bahkan sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama–dulu namanya PIP. Karenanya saya merasa berkepentingan untuk menulisnya.

Tapi, di sini, saya tak ingin mengulangi poin pada tulisan yang sudah saya kirim ke email redaksi pers kampus. Takutnya pembaca tulisan di sana yang sudah sedikit itu makin berkurang, bahkan menjadi tak ada sama sekali. Beberapa orang sering mengolok-olok kalau pers mahasiswa di kampus saya itu ibarat sebuah lembaga yang hidup enggan, mati tak mau karena saking jarangnya tersedia tulisan baru. Tentu saja saya hanya cengar-cengir ketika mendengar olok-olok tersebut, tak sanggup membantah. Sebab, saya pun sempat merasakan langsung terjun di lembaga itu.

Padahal, kalau dipikir-pikir, menulis ya tinggal menulis saja. Seperti apa yang saya lakukan saat ini, seperti yang saya lakukan kemarin ketika menulis persoalan KIP-K. Nah, selepas menulis soal program KIP-K itu lah saya menyadari ada sesuatu yang aneh pada salah satu persyaratan dan ketentuan bagi peserta yang ingin mendaftar KIP-K. Adalah persyaratan bahwa pendaftar mesti memiliki potensi akademik tapi dari keluarga miskin, dan juga ketentuan soal jangka waktu bagi penerimanya, yaitu delapan semester (untuk program S1).

Entah kenapa saya sangat terganggu dengan persyaratan dan ketentuan itu. Memangnya ada orang yang benar-benar pintar, tapi berasal dari keluarga miskin? Mungkin saja ada, tapi pasti tak banyak, dan tak mustahil memang. Bukannya menjadi pintar itu susah sekali? Apalagi jika tak punya uang. Saya kira keberadaan orang pintar dari keluarga miskin lebih banyak terdapat pada cerita-cerita motivator dalam acara seminar ketimbang aslinya.

Kawan saya banyak yang pintar, tetapi keluarganya tidak miskin. Pada saat persiapan masuk kuliah, misalnya, karena punya uang, keluarganya mampu mendaftarkannya pada program bimbingan belajar, mampu membelikan buku penunjang agar ia mengerti materi seleksi kuliah, serta mampu memberikan arahan yang cukup baik karena dulu orang tuanya pun juga sempat mengenyam pendidikan tinggi dan turut merasakan seleksi masuk perguruan tinggi.

Orang-orang seperti kawan saya itu tentu saja tak layak mendapatkan program KIP-K. Mereka pintar tapi keluarganya punya banyak uang. Keluarga miskin mana yang mampu mendaftarkan anaknya pada program bimbingan belajar intensif yang kalau dihitung-hitung biayanya setara dengan UMK, bahkan ada yang lebih. Membeli buku-buku penunjang seleksi masuk perguruan tinggi? Hah? Keluarga miskin itu membayar buku LKS saja sudah susah payah.

Tapi sore tadi saya mengetahui bahwa ada orang tak dapat saya katakan kaya, tapi tampak pintar. Sebut saja namanya Mas Abdul. Ia mahasiswa sebuah kampus negeri di Jakarta, dan berasal dari Lampung. Gaji bapaknya hanya satu setengah juta per bulan, dan itu pun harus dibagi ke kedua adik Mas Abdul yang sama-sama masih sekolah. Kini ia sudah memasuki semester sepuluh.

Saya tak tahu apakah Mas Abdul mendaftar KIP-K atau tidak. Tapi kalau pun iya, Mas Abdul sudah tak menerima uang saku bulanan dan biaya UKT-nya harus ia tanggung sendiri. Sebab, program KIP-K, seperti yang saya sebut di awal, hanya menanggung biaya pesertanya sampai semester delapan.

Mas Abdul gemar menulis, dan salah satu tulisannya sudah pernah terbit di Koran Tempo. Di Koran Tempo, ia menulis resensi sebuah buku berjudul Aswaja dan Marhaenisme karya Yana Priyatna. Mungkin tulisan itu ia garap di ruang sekretariat organisasinya. Sebab, setiap malam, Mas Abdul tidur di gedung sekretariat kampusnya. Entah sudah sejak kapan hal itu ia lakukan. Baginya, tak ada pilihan lain. Uangnya kelewat pas-pasan untuk sekedar menyewa kos-kosan seperti mahasiswa perantauan pada umumnya. Dengan kondisi seperti itu, Mas Abdul saya anggap sebagai orang yang tak gampang putus asa alias punya tekad.

Tentu saja Mas Abdul bukan orang yang tiba-tiba bisa menulis. Kau tahu, menulis bukanlah kemampuan yang sama dengan kemampuan menangis. Seorang bayi, begitu lahir ia tak harus belajar menangis. Ia langsung bisa menangis. Menulis jelas tak seperti itu. Siapa pun kalau ingin bisa menulis harus mau belajar.

Tak semua orang yang belajar menulis pun benar-benar bisa menulis, dan hanya sebagian orang saja yang mampu bertahan dalam proses belajar yang mungkin membosankan itu. Mas Abdul adalah salah satunya, dan itu juga karena ia punya tekad, bukan karena ia pintar. Andai saja ia tak punya tekad yang berlipat, pasti sulit baginya untuk membuat tulisan yang bagus, yang bisa terbit di Koran Tempo.

Setelah merenung dan melihat apa yang dialami Mas Abdul, saya menjadi yakin mengapa persyaratan KIP-K yang saya persoalkan di awal memang benar-benar aneh, bahkan aneh sekali. Saya percaya, di dunia ini lebih banyak orang seperti Mas Abdul, orang yang duitnya pas-pasan tapi punya tekad, daripada orang yang kurang uang tapi pintar. Seruan “modal nekat” memang bukan omong kosong.

Untuk itu, saya kira pemerintah harus mengubah persyaratan pendaftaran KIP-K yang tak gampang dibayangkan itu. Apapun bahasanya, yang jelas poinnya harus mengarah pada ketentuan bahwa untuk mendaftar KIP-K, peserta harus memiliki tekad untuk menuntut ilmu, walau ia bukan dari keluarga kaya. Itu tampak lebih realistis.

Demikian juga soal bantuan biaya KIP-K yang hanya diberikan sampai semester delapan. Itu sama sekali tak adil dan kelewat kurang ajar bagi orang yang tak punya uang. Bayangkan, ada orang yang sudah miskin, tapi masih saja diburu-buru agar cepat lulus, dan kalau tak memenuhi target, maka pemerintah menyuruh mahasiswa bekas penerima KIP-K itu membayar biaya hidup dan kuliah dengan kantong pribadi yang sedari awal memang tak ada isinya. Kalau saja itu terjadi pada mahasiswa yang tak punya tekad, maka selesai sudah.

Memang sudah seharusnya pemerintah tak hanya memberi kesempatan penerima KIP-K sampai delapan semester, tapi sampai benar-benar menjadi sarjana atau paling tidak sampai di-DO oleh kampus kalau memang ia tak lulus-lulus. Tapi tenang saja, orang yang punya tekad untuk lulus tak akan sampai kena DO. Dan percayalah, betapapun punya tekad, sebenarnya ada lebih banyak hal yang harus dipikirkan oleh mahasiswa yang benar-benar tak punya uang, selain harus lulus kuliah.

Mas Abdul mungkin harus berpikir bagaimana agar tidurnya tidak ketahuan satpam kampus agar ia tak diusir dari sekretariat, sesuatu yang mungkin tak pernah dipikirkan oleh orang kaya, atau bahkan orang kaya yang pintar sekali pun.

--

--

Sudut Kamar

Tempat menulis untuk diri sendiri. Kebanyakan adalah memoar pribadi. Oleh Adinan Rizfauzi.