Seabad Pram, Semoga

Sudut Kamar
2 min readApr 18, 2024

--

Untuk urusan buku, tak ada yang paling menyedihkan selain terpaksa harus membaca buku bajakan. Tahun depan, Pramoedya Ananta Toer berusia seabad, dan beberapa hari lalu aku membeli salah satu karangannya. Harganya kelewat murah lantaran bajakan. Barangkali alasanku membeli buku bajakan sudah banyak diketahui orang, tapi kali ini khusus untuk karya Pram.

Kau tahu? Saat ini, buku-buku karangan Pram, meski dalam kondisi bekas, dihargai dengan nominal yang makin tak masuk akal, khususnya untuk terbitan Hasta Mitra dan Lentera. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan menelan ludah ketika melihat harga-harganya. Di Twitter, ada orang yang menjual Nyanyian Sunyi Seorang Bisu seharga satu juta tiga ratus ribu. Arus Balik dihargai dua juta sembilan ratus di lokapasar.

Bagaimana? Keringat dinginmu sudah mengucur? Sejauh ini hanya Tetralogi Buru yang harganya masih ramah, meskipun sebenarnya tak terlalu begitu. Ada pula buku milik Pram terbitan KPG, seperti Cerita dari Digul, Prawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dan Minggir yang harganya sudah “yoi” karena belum lama dicetak ulang. Ingat, soal harga yang sulit aku jangkau ini baru yang pertama.

Kedua, buku milik Pram tak banyak tersedia di perpustakaan, baik perpustakaan digital maupun konvensional. Bahkan sekelas iPusnas yang dibawah naungan Perpustakaan Nasional pun tak menyediakan e-book milik Pram. Ini menyedihkan mengingat buku-buku Pram telah diterjemahkan ke empat puluhan bahasa asing. Tapi bagaimana mungkin aku yang sebangsa dengan Pram sulitnya minta ampun untuk mengakses karyanya.

Yang pertama dan yang kedua itu berbanding terbalik dengan betapa menggiurkannya buku-buku bajakan, baik fisik maupun digital, milik Pram yang selama ini mudah aku temui. Di pasar loakan buku bekas dan lokapasar, buku bajakan karangan Pram dengan harga yang jauh lebih mudah dibayangkan tersedia seabrek. Di rak buku milik kawan-kawan pun juga tak karah mentereng.

Dengan kata lain, sebenarnya aku bisa menjangkau karangan Pram, asal dengan kualitas standar buku bajakan: halaman yang mudah terlepas, ketikan yang kadang tak terbaca, serta sampul yang sama sekali tak nyaman digenggam. Keberadaan huruf-huruf timbul pada sampul buku? Lupakan. Seluruh isinya bisa dibaca saja sudah syukur.

Pernah suatu hari aku datang ke tempat loakan buku bekas di pusat Kota Surakarta. Ada buku Gadis Pantai yang tergeletak di antara buku-buku bekas lain. Dari sampulnya aku sudah bisa mengetahui bahwa buku tersebut bukanlah buku original. Terlebih lagi kondisinya kelewat kusam dan memprihatinkan.

Tapi buku tersebut berhasil membuat mataku terbelalak. Percaya tak percaya, terdapat stempel Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Surakarta pada sampul buku malang tersebut. Lihat, ternyata bukan hanya rak buku milik kawanku yang mengoleksi buku bajakan Pram. Sekelas perpustakaan kota juga sempat memajangnya.

Siapa pun, kecuali orang yang mendapat untung berlipat dalam dunia industri buku bajakan, tentu saja berharap agar situasi demikian cepat berubah. Menuju seabad Pram, semoga buku-buku milik Pram dengan kualitas yang layak makin mudah diakses oleh siapa pun, dihargai dengan nominal yang lebih manusiawi, dan terpajang di banyak perpustakaan.

Barangkali itu bisa diawali dengan para penerbit yang tertarik untuk mencetak ulang karya Pram. Sebab, situasi ini amat berkaitan dengan makin langkanya buku-buku Pram di pasaran. Syukur-syukur kalau pemerintah juga sadar mengenai persoalan ini. Ah, perasaan bersalah dan menyedihkan ketika membaca buku bajakan ini harus cepat-cepat berakhir, sungguh. Menuju seabad Pram. Semoga.

--

--

Sudut Kamar

Tempat menulis untuk diri sendiri. Kebanyakan adalah memoar pribadi. Oleh Adinan Rizfauzi.