Bukan Pasarmalam

Sudut Kamar
3 min readApr 19, 2024

--

“Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita…, mengapa kemudian kita harus bercerai-berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam.” (Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasarmalam, Jakarta: Lentera Dipantara, 2007, hlm. 95)

Buku itu aku tutup. Sampul tipisnya aku usap-usap. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu termangu atas apa yang sudah aku baca. Tebalnya hanya seratus halaman. Tapi memang sebuah buku tak bisa dinilai dari seberapa banyak jumlah halamannya. Dalam Bukan Pasarmalam, Pramoedya Ananta Toer benar-benar berhasil menyentuhku.

Bukan Pasarmalam menceritakan seorang tokoh utama “aku” yang pulang menghampiri sang bapak yang sedang terkulai di ranjang dirongrong TBC. Dalam masa-masa seperti itu, sang tokoh “aku” selalu dicemaskan oleh bayangan kehilangan seorang bapak, seorang bapak yang disegani banyak orang, seorang rekan berjudi bagi sebagian orang, sekaligus seorang guru bagi para muridnya. Dua setengah bulan sudah sang bapak sakit-sakitan, sebelum pada akhirnya ia benar-benar pergi, diantar oleh dua ribuan pelayat ke tempat terakhirnya.

Sekilas, cerita seperti itu nyaris sederhana, bukan? Tapi percayalah, dengan sentuhan tangan seorang Pram, cerita semacam itu bisa membuat siapa pun merenung-renung bahkan ketika bukunya belum dibaca tuntas.

Terkadang, perasaan dan pikiranku juga kerap digelayuti oleh bayangan kematian. Tapi kecemasan mengenai kematian orang terdekat lebih sering mengetuk-ngetuk tempurung otakku ketimbang kematianku sendiri. Belakangan ini, ketukan itu semakin bertalu-talu. Pada lain waktu, aku juga teringat bagaimana aku pernah menyaksikan orang-orang yang aku kenal ditinggal pergi oleh orang yang mereka sayangi. Tak ada bedanya, semua itu sama-sama menyayat perasaanku.

Tiga hari lalu, bayangan soal kematian orang terdekat bahkan datang ke dalam tidurku. Di sana aku menangis tersedu-sedu. Meraung-raung. Aku terbangun pada pukul lima pagi dan tak ingin sekali-kali mencoba membaringkan tubuh lagi. Aku mengusap keringat bercampur lelehan air mata yang sudah hampir mengering. Mimpi buruk.

Bukan Pasarmalam datang seolah sebagai kawan bagiku. Ia mengajakku bercengkrama soal betapa mencemaskannya ditinggal orang terdekat. Pada akhirnya, di ujung obrolan, kami sama-sama yakin akan kalut ketika sudah waktunya menghadapi duka yang bahkan tak seorang pun dari kami benar-benar siap untuk itu. Dan apa boleh buat, dunia ini memang bukanlah sebuah pasar malam. Ya, memang bukan, sayangnya.

Aku membaca buku tersebut dengan khusyuk, juga mencoba tak terburu-buru. Satu bagian selesai, satu bagian lagi selesai, dan tiba-tiba sampai di bagian terakhir. Bukan Pasarmalam selesai aku baca siang hari setelah sore hari sebelumnya diantar oleh Pak Kurir.

Ah, gaya bertutur Parm masih sama dengan apa yang aku temui dalam Tetralogi Buru – dan semoga seluruh karyanya ditulis dengan cara seperti itu. Tapi kali ini apa yang disampaikan Pram jauh lebih membekas dan mengharu biru ketimbang empat bukunya itu. Itu menurutku.

Walau demikian, aku belum punya nyali untuk mendeklarasikan bahwa Bukan Pasarmalam adalah buku terbaik karya Pram. Sebab, dari banyaknya buku milik Pram, aku bahkan belum sampai menyentuh seperempatnya. Ya, seperti kata Pram, manusia tak bisa berbuat apa-apa terhadap sesuatu yang tak diketahuinya. *

--

--

Sudut Kamar

Tempat menulis untuk diri sendiri. Kebanyakan adalah memoar pribadi. Oleh Adinan Rizfauzi.